Kepemimpinan Gembala (2)

23. 09. 23
posted by: Administrator
Hits: 117

Oleh : Pdt. Fransiscus Oktavianus Turino

 Setelah dalam edisi Bina Iman sebelumnya dibahas tentang pemahaman dan tanggung jawab kepemimpinan gembala, maka pada edisi Bina Iman kali ini akan dibahas tentang prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan gaya kepemimpinan gembala. Paling tidak ada dua prinsip dasar yang perlu diterapkan dalam menjalankan gaya kepemimpinan gembala. Kedua prinsip dasar itu adalah:

1. Prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah

web artikel gembala 3

Komunikasi yang terbuka dan dua arah menjadi salah satu prinsip dasar yang penting dalam menjalankan gaya kepemimpinan gembala di tengah semangat demokrasi umat. Jalur komunikasi yang diterapkan dalam kepemimpinan gembala bukanlah jalur ‘top-down’, melainkan jalur komunikasi dua arah dan terbuka antara anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat.

Maksudnya dalam menerapkan prinsip ini, setiap anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat tanpa terkecuali dapat menyampaikan pendapat, ide, kritik, dan saran mereka dan juga dapat berkomunikasi dengan siapa saja secara terbuka dan langsung tanpa terbentur oleh kedudukan jabatan gerejawi.

Selain itu, prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah juga diterapkan dalam penyampaian informasi bagi semua anggota jemaat. Setiap anggota jemaat memiliki hak yang sama untuk memperoleh semua informasi yang berhubungan dengan kehidupan gerejawi. Tidak ada satu pun anggota jemaat yang memiliki prioritas utama dalam memperoleh sebuah informasi, melainkan seluruh anggota jemaat memiliki prioritas yang sama dalam mendapatkan informasi tersebut. Dengan kata lain, setiap anggota jemaat memiliki hak yang sama dalam bersuara, menyampaikan pendapatnya, dan dalam mendapatkan semua informasi yang berhubungan dengan kehidupan gerejawi.

Berkaitan dengan prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah, Arthur Shriberg dan kawan-kawan mengatakan bahwa komunikasi merupakan “jantung” dari sebuah kepemimpinan. Jika komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik dalam sebuah kepemimpinan, maka sebuah organisasi tersebut akan mati karena “jantung” kepemimpinannya telah berhenti. Sebaliknya, jika komunikasi dapat berjalan dengan baik (terbuka dan dua arah), maka kepemimpinan pun akan menjadi hidup dan dapat berjalan dengan efektif serta produktif.

Komunikasi dalam sebuah kepemimpinan dapat berfungsi sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan dan juga merumuskan visi dan misi bersama yang akan dicapai oleh kepemimpinan tersebut. Perumusan visi dan misi bersama ini sangatlah penting untuk menentukan arah dan tujuan yang ingin dicapai bersama oleh setiap anggota jemaat. Melalui komunikasi yang terbuka dan dua arah, semua kritik, saran dan ide-ide dari setiap anggota jemaat dapat tertuang dan dapat menjadi sebuah masukan yang sangat berharga demi kemajuan serta kelangsungan kehidupan gerejawi.

Di samping itu, komunikasi yang terbuka dan dua arah ini juga dapat berfungsi sebagai sarana penyampaian informasi kepada setiap anggota jemaat secara merata, sehingga mereka dapat mengetahui dan memahami tentang segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan gerejawi serta memahami setiap keputusan yang diambil oleh Majelis Jemaat. Pemahaman tentang informasi ini sangat penting bagi setiap anggota jemaat agar mereka dapat meresponnya dengan memberikan pendapat, ide, saran dan kritik untuk menghadapi persoalan yang ada sehingga Majelis Jemaat dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi.

Salah satu wadah nyata untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah adalah melalui PMJD (Persidangan Majelis Jemaat Diperluas), rapat kerja dan rapat koordinasi antara Majelis Jemaat dengan Badan Pelayanan Kategorial. Dalam rapat-rapat tersebut seharusnya tidak terjadi monopoli komunikasi, di mana seorang anggota Majelis Jemaat atau pun anggota jemaat yang selalu berbicara tanpa memberikan kesempatan bagi yang lainnya untuk berbicara. Selain melalui rapat (wadah formal), sebenarnya komunikasi juga dapat terjalin antara anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat melalui wadah informal seperti percakapan melalui telepon, e-mail, atau langsung bertatap muka. Dengan demikian, diharapkan budaya keterbukaan dalam membangun komunikasi antara anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat dapat terbentuk dengan baik.

Sebenarnya, prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah juga sudah terdapat semenjak zaman Perjanjian Lama. Allah telah melakukan komunikasi dengan manusia semenjak manusia diciptakan dan ditempatkan di taman Eden. Allah melakukan komunikasi dengan Adam dan Hawa di taman Eden secara langsung dan terbuka serta dua arah (Kej. 3:1-24). Proses komunikasi ini pun terus berlanjut hingga zaman Musa, di mana Allah berbicara kepadanya dengan berhadapan muka seperti seseorang berbicara kepada temannya (Kel. 33:11a).

Bahkan dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam kepemimpinan Yesus, prinsip komunikasi yang terbuka dan dua arah ini juga tetap terjadi. Pada saat Yesus melayani di dunia, lihatlah bagaimana Ia bersedia untuk membagikan pengalaman-pengalaman-Nya kepada para murid melalui komunikasi yang Ia lakukan. Yesus berada di mana para murid berada, Ia bersedia mendengarkan mereka, dan Ia juga mau berbagi kesenangan ataupun kesusahan bersama dengan para murid. Yesus pun membuka diri-Nya untuk dapat didekati oleh para murid kapan saja mereka mau. Bahkan tidak segan-segan Yesus yang kadangkala mendatangi para murid untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan (Mat. 7:7-8). Semua hal tersebut dapat terjadi karena Yesus mau menjalin komunikasi yang terbuka dan dua arah dengan para murid. Dengan adanya sikap terbuka dan penerimaan Yesus tersebut, maka para murid pun akhirnya bersedia untuk terbuka dan menjalin komunikasi dengan Yesus tanpa merasa segan dan enggan.

 

2. Prinsip kerjasama dalam kebersamaan

web artikel gembala 4Prinsip kedua untuk menjalankan kepemimpinan gembala secara efektif adalah prinsip kerjasama dalam kebersamaan. Kepemimpinan gembala akan dapat terlaksana dengan efektif jika terjalin suatu kerjasama yang baik antara Majelis Jemaat (sebagai pemimpin) dengan umat (sebagai orang yang dipimpin). Baik pemimpin maupun umat seharusnya tidak hanya mementingkan urusannya masing-masing namun juga mau peduli dan dapat saling bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan bersama. Prinsip kerjasama dalam kebersamaan ini dapat terjadi jika para pemimpin dan orang yang dipimpinnya saling menghargai fungsi serta peran masing-masing. Seorang pemimpin perlu menyadari bahwa kepemimpinan yang mereka jalankan bertujuan untuk mendukung setiap anggotanya dan menolong mereka untuk menjalankan peran mereka; dan bukan untuk mendiktekan apa yang harus mereka jalankan. Dalam hal ini berarti para pemimpin juga harus dapat mendelegasikan tugas dan peran kepada setiap anggotanya untuk berperan serta dalam kehidupan pelayanan gerejawi. Oleh karena itu para pemimpin harus memberikan kesempatan kepada setiap anggotanya untuk menggunakan karisma yang mereka miliki secara optimal dan efektif. Dengan kata lain, para pemimpin tidak melihat orang-orang yang dipimpinnya hanya sebagai pelaksana keputusan melainkan sebagai bagian dari pengambilan sebuah keputusan yang ikut menentukan arah dan sebagai manusia yang bernilai serta mempunyai kapasitas yang dapat dikembangkan lebih lanjut.

Di sisi lain, umat juga harus dapat menyadari peran dan fungsi mereka dalam keberlangsungan dan kemajuan kehidupan bergereja. Umat perlu menyadari bahwa mereka adalah subyek (pemain) dan bukan obyek (penonton) yang turut menentukan pembangunan jemaat ke arah yang lebih baik. Dengan menyadari hal tersebut maka umat akan semakin termotivasi untuk terlibat (berpartisipasi) secara aktif dan bersedia menggunakan karisma yang mereka miliki untuk menunjang kehidupan bergereja. Selain itu, umat juga perlu menghargai peran dan fungsi para pemimpin dalam menjalankan setiap tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya. Dengan terciptanya rasa saling menghargai terhadap peran dan fungsi masing-masing (antara Majelis Jemaat dan umat) maka akan terjalin juga kebersamaan yang erat di antara mereka dalam menjalankan kepemimpinan gembala. Sikap saling memotivasi, menopang, menolong dan saling bertukar pikiran antara anggota Majelis Jemaat dan umat akan semakin menguatkan jalannya kepemimpinan gembala dalam sebuah kehidupan gerejawi.

Dalam Kitab Keluaran 18:17 dikatakan bahwa tidak akan sanggup seorang pemimpin melakukan semua pekerjaan seorang diri saja, melainkan ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Orang lain akan dapat membantu secara maksimal dan optimal jika ia diberi kesempatan (didelegasikan tugas) untuk berperan serta di dalamnya. Dalam hal pemberian kesempatan bagi orang lain untuk terlibat dalam sebuah tugas, Yesus telah memberikan teladan-Nya. Ia membagikan tugas, wewenang dan bahkan kekuasaan yang nyata bagi keduabelas murid-Nya (Mrk. 3:15). Hal tersebut membuktikan bahwa Yesus bersedia mendelegasikan (melibatkan) para murid untuk bersama-sama menjalankan pelayanan di dunia ini. Yesus secara tidak langsung mau menggambarkan bahwa sebuah pelayanan akan dapat berjalan secara harmonis dan efektif bila dibarengi dengan unsut partisipasi (kerjasama dalam kebersamaan) dari semua anggota. Selain itu, dituntut juga adanya kepercayaan yang besar dari seorang pemimpin kepada setiap anggotanya bahwa mereka sanggup untuk menjalankan peran, tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada mereka dengan baik.

Rasul Paulus juga menerapkan prinsip kerjasama kepada jemaat di Korintus. Dalam perumpamaan tentang anggota-anggota tubuh, Paulus mengatakan bahwa anggota tubuh yang satu tidak dapat berkata bahwa ia tidak membutuhkan anggota tubuh yang lainnya (1 Kor. 12:21). Hal ini hendak menggambarkan bahwa anggota tubuh yang satu sangat membutuhkan atau memiliki ketergantungan terhadap anggota tubuh yang lainnya. Jika metafor tentang anggota tubuh ini dikaitkan dengan kepemimpinan gembala, maka berarti bahwa baik para pemimpin dan orang yang dipimpin saling membutuhkan dan memiliki ketergantungan satu dengan yang lain. Dengan demikian, tidak terdapat individualisme antar anggota tubuh (antara gembala dan kawanan gembalaannya). Semua anggota tubuh harus bekerjasama demi kelangsungan tubuh tersebut. Semua anggota tubuh memiliki peran yang sama pentingnya dalam menunjang kehidupan tubuh tersebut. Hal ini juga berarti bahwa baik gembala (para pemimpin) dan kawanan gembalaannya (umat) memiliki peran yang sama pentingnya dalam menunjang proses pembangunan jemaat.

Dapat kita dibayangkan apa jadinya jika anggota tubuh bekerja sendiri-sendiri. Misalnya saja dalam makan, jika mulut tidak mau bekerjasama dengan tangan untuk mengambil makanan, bagaimana mungkin makanan tersebut dapat masuk melalui mulut dan dengan demikian tubuh secara keseluruhan bersama dengan seluruh anggota tubuh lainnya lama kelamaan dapat mati. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu kerjasama yang sangat baik di antara semua anggota tubuh, sekalipun masing-masing anggota tubuh memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Paulus menambahkan bahwa jika satu anggota tubuh menderita maka semua anggota tubuh turut menderita dan jika satu anggota tubuh dihormati maka semua anggota tubuh turut bersukacita (1 Kor. 12:26). Hal ini menggambarkan bahwa dibutuhkan suatu solidaritas yang tinggi antar sesama anggota tubuh agar apa yang sedang dialami oleh salah satu anggota tubuh, anggota tubuh yang lainnya juga dapat turut merasakannya.

Dari penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa prinsip kerjasama dalam kepemimpinan gembala hanya akan terjalin dengan baik jika terdapat keterbukaan di antara anggota Majelis Jemaat dengan anggota jemaat dalam menyampaikan permasalahan yang sedang dihadapi bersama. Selain itu juga dibutuhkan rasa solidaritas dan juga rasa memiliki yang tinggi antara anggota Majelis Jemaat dengan anggota jemaat, sehingga mereka mau menunjukkan kepeduliannya dengan cara memberikan ide ataupun pendapatnya terhadap persoalan yang sedang dihadapi dalam kehidupan bergereja. Kepemimpinan gembala tidak akan dapat berjalan dengan efektif jika anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat bekerja sendiri-sendiri (individual) tanpa membangun sebuah kebersamaan.

Hal yang perlu ditanamkan dalam diri setiap anggota Majelis Jemaat dan anggota jemaat adalah bahwa tujuan bersama yang telah dirumuskan melalui visi dan misi gereja hanya akan dapat terwujud jika mereka semua dapat bekerjasama. Kesuksesan dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan merupakan sebuah kesuksesan bersama (Majelis Jemaat dan umat). Sebaliknya, kegagalan dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan merupakan sebuah kegagalan bersama juga. Dengan kata lain, keberlangsungan kehidupan gerejawi sangat bergantung pada keberhasilan kerjasama yang dibangun antara para pemimpin (Majelis Jemaat) dengan setiap anggota jemaatnya. (end)