Kepemimpinan Gembala (1)

23. 08. 19
posted by: Administrator
Hits: 118

web artikel gembala 1

Oleh : Pdt. Fransiscus Oktavianus Turino

Kepemimpinan gembala adalah kepemimpinan yang berdasarkan atas penghayatan seseorang akan panggilan Tuhan terhadap dirinya. Orang yang melakukannya menyadari bahwa tugas itu bukanlah atas inisiatifnya sendiri tetapi merupakan panggilan Tuhan. Agar dapat menghayati panggilan Tuhan tersebut dibutuhkan kehidupan spiritualitas yang baik dengan Tuhan, sehingga seorang pemimpin tidak dengan mudahnya mengklaim begitu saja akan panggilan Tuhan kepada dirinya.

Pemberian kepercayaan sebagai pemimpin (gembala) kepada manusia merupakan mandat dari Tuhan kepada orang tertentu. Konsekuensi dari panggilan seperti ini adalah pemimpin menyadari bahwa dirinya merupakan utusan Tuhan dan harus bertanggungjawab kepada Tuhan dalam menjalankan kepemimpinannya. Dia tidak hanya bertanggungjawab secara horizontal (kepada orang yang dipimpinnya), tetapi juga harus bertanggungjawab secara vertikal (kepada Tuhan). Tanggung jawab seperti itu terlihat dalam Yehezkiel 34. Pada saat para pemimpin yang diangkat sebagai gembala Israel tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, maka Tuhan mencabut mandat itu. Hal ini berarti bahwa dalam menjalankan kepemimpinan gembala, setiap pemimpin harus bertanggungjawab kepada Tuhan yang telah memilih dan memberi kepercayaan kepada mereka.

Dalam Perjanjian Baru, hal yang kurang lebih sama juga dapat ditemukan, misalnya dalam kisah percakapan antara Yesus dengan Petrus di Yohanes 21:15-19. Di sana dikisahkan bagaimana Yesus mengajukan pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali kepada Petrus. Yesus bertanya kepada Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Setiap kali Petrus menjawab bahwa dia mengasihi Yesus, maka Yesus memberi perintah kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Perintah ini menunjukkan bahwa tugas sebagai gembala tersebut dipercayakan oleh Yesus kepada Petrus. Akhiran “Ku” dari kata “domba-domba-Ku”, semakin menegaskan bahwa orang yang dipimpin (dilayani) bukanlah milik gembala tetapi milik Tuhan yang dipercayakan kepada gembala untuk menggembalakan mereka.

Oleh karena kepemimpinan gembala berdasarkan panggilan dari Tuhan, maka otoritas yang dimiliki oleh para pemimpin juga berasal dari Tuhan. Dengan dasar otoritas yang bersumber dari Tuhan, maka kepemimpinan gembala lebih menekankan soal karisma ketimbang pengangkatan fungsional secara legal. Pengangkatan fungsional memang diperlukan, namun pada saat pemimpin yang diangkat tersebut tidak memiliki karisma dalam menjalankan kepemimpinan gembala, maka otoritas yang dimilikinya dapat disalahgunakan. Pada saat seorang pemimpin menyadari bahwa otoritas kepemimpinannya berasal dari Tuhan, maka akan ada dua kemungkinan implikasi yang terjadi dalam menjalankan kepemimpinannya.

Kemungkinan implikasi yang pertama adalah seorang pemimpin justru akan menjalankan praktik-praktik kepemimpinan yang otoriter karena menganggap memiliki otoritas dari Tuhan. Implikasi ini merupakan implikasi yang negatif dan keliru dalam memahami dan menggunakan otoritas yang Tuhan berikan kepada seorang pemimpin, sehingga perlu untuk diwaspadai dan dihindari. Kemungkinan implikasi yang kedua pada saat seorang pemimpin menyadari bahwa otoritas kepemimpinannya berasal dari Tuhan, maka akan semakin membawanya menjadi seorang pemimpin yang bersikap melayani dan rendah hati, serta akan mendorongnya untuk tetap memelihara persekutuan dengan Tuhan yang memberikan otoritas tersebut. Implikasi ini merupakan implikasi yang positif dan tepat dalam memahami dan menggunakan otoritas yang Tuhan berikan kepada seorang pemimpin, sehingga perlu untuk diupayakan. Melihat adanya dua kemungkinan implikasi tersebut, maka pemahaman tentang otoritas kepemimpinan yang berasal dari Tuhan ini perlu disikapi dengan sangat kritis dalam praktik-praktik kepemimpinan yang dilakukan. 

Dalam konteks kehidupan bergereja di Gereja Kristen Indonesia (GKI), para pemimpin gereja (Pendeta dan Penatua) diharapkan dapat memiliki komitmen untuk menjalankan kepemimpinannya dengan segenap hati sebagai seorang gembala yang berkarisma. Hal ini berarti setiap anggota Majelis Jemaat (sebagai sebuah lembaga kepemimpinan kolektif) perlu menyadari bahwa mereka bertanggung jawab kepada Tuhan yang telah memilih mereka untuk menjadi gembala (pemimpin) atas kawanan domba (umat) yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Dengan mengingat bahwa Tuhan-lah Sang Pemilik kawanan domba (umat), maka para gembala (pemimpin) tidak akan memperlakukan mereka dengan semaunya. Selain itu, para pemimpin dalam kemajelisan juga perlu menyadari bahwa otoritas yang mereka miliki bukanlah untuk menguasai umat secara otoriter, melainkan untuk melaksanakan peran mereka dalam membimbing dan mengarahkan umat dalam kerangka pembangunan jemaat menuju kondisi yang lebih baik.

Di dalam melaksanakan tugasnya, gembala mengusung sejumlah tanggung jawab penggembalaan yang membuatnya berbeda dengan pola kepemimpinan yang lain. Paling tidak ada enam tanggung jawab yang harus dilaksanakan dalam kepemimpinan gembala. Keenam tanggung jawab itu adalah:

 1.  Mengenal

‘Mengenal’ dalam filosofi gembala tidaklah sekadar mengetahui atau memahami keberadaan fisik secara visual semata, namun juga memperhatikan aspek lain yang tersembunyi di balik fisik tersebut, seperti naluri, karakter, atau tabiat. Gembala yang baik adalah gembala yang mengenal kawanan gembalaannya secara utuh. Ia memahami ketakutan dan rasa frustasi mereka dan menyadari kekuatan dan kelemahan mereka, sehingga seorang gembala tahu kapan mereka harus dibawa ke air yang tenang dan kapan mereka harus dipacu. Dalam kaitannya dengan hal ini, Michael Youssef berpendapat bahwa agar seorang gembala mampu mengenal kawanan gembalaannya secara utuh, maka mau tidak mau, ia harus memiliki hubungan emosional yang intim dengan kawanan gembalaannya.

Seorang gembala tidak akan dapat mengenal gembalaannya secara instan, melainkan memerlukan proses yang panjang dan membutuhkan kesungguhan. Jika seorang pemimpin ingin mengenal komunitas yang dipimpinnya dengan berkualitas, maka ia harus dapat larut dalam komunitas tersebut; ia harus menaruh kepercayaan kepada mereka; ia harus memelihara keterbukaan antara dirinya dengan komunitasnya; dan ia juga harus dapat membangun komunikasi dari hati ke hati. Semakin seorang gembala mengenal kawanan gembalaannya dengan baik (melalui relasi yang dibangun), maka ia akan semakin mengetahui apa yang menjadi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, seorang gembala seharusnya bersedia meluangkan waktunya untuk lebih mengenal kawanan gembalaannya.

 2. Mengasuh

‘Mengasuh’ adalah falsafah kepemimpinan gembala yang berkaitan dengan tanggung jawabnya untuk memperhatikan kesehatan fisik maupun psikis seluruh kawanan gembalaannya. Dengan demikian, ‘mengasuh’ bukan hanya meliputi pemberian makanan yang bergizi kepada kawanan gembalaannya dan merawatnya sehingga terhindar dari kemungkinan terserang berbagai penyakit, namun juga meliputi tanggung jawab untuk memelihara pertumbuhan dan perkembangan mereka serta mendidik kawanan gembalaannya agar menjadi tertib, teratur, dan memiliki disiplin. Seorang gembala tidak akan pernah membiarkan kawanan gembalaannya berkeliaran tanpa pengawasan, menghabiskan makanan tanpa kendali, mati kelaparan, atau terserang sakit-penyakit karena tidak terurus dengan baik. Gembala selalu bersama kawanan gembalaannya dan senantiasa siap apabila mereka membutuhkan dirinya. Oleh karena itu, seorang gembala harus bersedia terjun langsung ke tengah kehidupan kawanan gembalaannya; aktif (mencari bukan dicari) dan bukan reaktif; dinamis terhadap berbagai perubahan dan bukan statis.

Dengan melaksanakan tanggung jawab tersebut, kepemimpinan gembala menunjukkan bahwa ia tidak hanya menekankan ‘goal-oriented’ tetapi lebih mengutamakan ‘people-oriented’. Dengan kata lain, ia tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi dan organisasi tetapi juga peduli terhadap kehidupan kawanan gembalaannya. Selain itu, seorang gembala juga bertanggung jawab untuk menunjukkan jalan, membimbing dan mengarahkan kawanan gembalaannya menuju ke tempat yang lebih baik lagi dari pada tempat sebelumnya. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan gembala juga akan melakukan hal yang sama. Secara praktis, hal itu berarti bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tujuan dan arah yang jelas ke mana dia akan membawa orang yang dipimpinnya. Secara operasional, hal itu berarti bahwa seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi (membuat orang lain percaya) untuk berjalan bersamanya. Oleh karena itu, seorang pemimpin dalam gaya kepemimpinan gembala harus senantiasa bersifat inovatif.

 3.  Mengayomi

Seorang pemimpin yang ‘mengayomi’ akan memberikan perlindungan penuh tanpa batas sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman terhadap komunitas yang dipimpinnya. Tindakan mengayomi dapat diibaratkan seperti induk ayam yang mengerami anak-anaknya di bawah kepak sayapnya. Dengan demikian, anak-anaknya tidak hanya merasakan adanya jaminan keamanan dari sang induk terhadap gangguan musuh, tetapi juga kenyamanan karena mendapatkan kehangatan dari tubuh sang induk. Mungkin inilah juga yang dimaksudkan oleh Pemazmur dalam Mazmur 23 saat mengatakan bahwa “Ia (Sang Gembala) menyegarkan jiwaku”. Ketenangan jiwa akan mendatangkan kinerja yang baik dalam kehidupan sebuah komunitas. Dalam melakukan tanggung jawab untuk mengayomi orang-orang yang dipimpinnya, seorang pemimpin harus mampu melaksanakan tindakan-tindakan seperti: melayani tanpa pandang bulu; melayani secara adil; menghilangkan intrik-intrik; dan menghilangkan diskriminatif.

Selain itu, tanggung jawab ‘mengayomi’ juga berarti bahwa seorang gembala itu harus melangkah di depan kawanan gembalaannya. Ia tidak menunggu isyarat dari kawanan gembalaannya. Ia pun tidak seperti ‘anjing gembala’ yang selalu menggigit tumit mereka. Ia tidak mengawasi dari belakang, menggiring mereka, meskipun ia mungkin berusaha mendorong mereka agar tidak lesu atau malas. Seorang gembala tidak semata-mata bereaksi terhadap kejadian yang gawat, melainkan berinsiatif untuk menuntun dan memimpin (mengayomi) mereka dari depan.

 4. Melindungi

Gembala tidak akan meninggalkan kawanan gembalaannya seorang diri. Ia selalu berada di dekat kawanan gembalaannya untuk memberikan perlindungan bagi mereka. Demikian halnya juga dalam kepemimpinan gembala. Salah satu inti penting kepemimpinan gembala adalah kesediaan dan kemampuan seorang pemimpin untuk melindungi komunitas yang dipimpinnya. Memberikan perlindungan merupakan komitmen dasar kepemimpinan gembala sehingga komunitasnya dapat menjalankan aktivitas mereka dengan tenang. Kedamaian, kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan hidup hanya bisa tercipta jika pemimpin mampu untuk menyediakan perlindungan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam realitasnya, tindakan melindungi berarti: menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap orang tanpa ada tekanan dari pihak mana pun; menghormati dan menghargai perbedaan pendapat yang terjadi; menghargai dan menghormati eksistensi orang lain; dan menjamin adanya kebebasan dalam menentukan pilihan.

 5. Menuntun dan Membimbing

Selain melindungi kawanan gembalaannya, seorang gembala juga harus siap mengendalikan mereka supaya ia dapat menuntun dan membimbing mereka agar tidak terjerumus ke dalam bahaya. Seorang gembala perlu untuk bertindak dengan tegas demi kebaikan kawanan gembalaannya. Itulah sebabnya, di samping ‘cambuk atau gada’ untuk melindungi dan membela kawanan gembalaannya, satu perlengkapan penting yang dibawa oleh seorang gembala adalah ‘galah atau tongkat’ untuk menuntun dan membimbing kawanan gembalaannya.

Galah atau tongkat sampai saat ini merupakan simbol otoritas gembala. Tujuan utamanya adalah untuk mengawasi, menuntun, dan membimbing kawanan gembalaannya. Lekukan di ujung tongkat yang cukup untuk dikalungkan di leher domba yang tidak patuh, digunakan untuk mengajak domba yang berkeliaran kembali ke jalan yang benar. Domba cukup akrab dengan bentuk dan sentuhan tongkat gembala. Hal ini menyakinkan mereka bahwa ada seseorang yang sedang menjaga dan menarik mereka kembali ke jalan yang benar.

Dalam sebuah organisasi, para pengikut (anggota) juga mengharapkan pemimpin mereka menggunakan otoritasnya dengan cara yang baik untuk membentuk perilaku agar searah dengan visi dan misi bersama. Terutama pada masa-masa yang penuh bahaya dan ketidakpastian, para pengikut akan merasa aman apabila pemimpin menggunakan otoritasnya dengan bijaksana dan tegas. Seorang gembala harus dapat melakukan tanggung jawab dalam menuntun dan membimbing kawanan gembalaannya dengan berani. Namun, meskipun seorang gembala perlu bertindak berani dan tegas, itu tidak berarti harus berlaku kasar dan bahkan menindas.

Dalam Perjanjian Lama, Tuhan digambarkan sebagai gembala yang: menghimpun kawanan ternak-Nya dengan tangan-Nya (Yes. 40:11); membalut domba yang terluka (Yeh. 34:16); dan yang membawa domba-domba-Nya ke tempat yang menyegarkan (Mzm. 23:2). Gambaran tersebut menunjukkan kelembutan hati, pemeliharaan, dan kesetiaan. Dalam Perjanjian Baru, Yesus menggambarkan bahwa Gembala Baik itu mengenal dan memelihara setiap domba-Nya dan bahwa pemeliharaan ini membutuhkan pengorbanan yang mendalam dari sang gembala.

 6. Mengorbankan Diri

Yesus mengatakan bahwa gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh. 10:11). Hal ini berarti bahwa kepempimpinan gembala yang efektif sangat berkaitan dengan kesediaan untuk mengorbankan diri. Pengorbanan diri tidak berarti bahwa seorang pemimpin tidak lagi hidup sebagai individu atau bahwa individualitasnya tidak penting. Tanggung jawab dan semangat pengorbanan diri lebih merupakan sikap dan fokus seorang pemimpin dalam mengupayakan kebaikan untuk orang lain, termasuk mereka yang dipimpinnya. Hal itu berarti bahwa seorang pemimpin gembala lebih mengutamakan kebutuhan orang lain ketimbang kebutuhan dirinya sendiri. Ia akan lebih mengupayakan kebaikan bagi mereka yang dipimpinnya daripada demi dirinya sendiri. Ia akan bersedia mengesampingkan hasratnya sendiri dan mengorbankan keinginannya untuk melakukan apa yang diperlukan demi kebaikan bersama. (bersambung...)